Depok | detikNews – Dua saksi ahli waris dalam Perkara Perdata No.259/Pdt.G/2021/PN.Dpk di Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Depok memberi kesaksian tentang kisah sejarah lahan seluas 121 hektar yang kini berdiri kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Depok.
Namun, kesaksian ahli waris tersebut ditepis oleh para pihak tergugat.
Kuasa Hukum tergugat IV, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Misrad kepada detikNews.co.id mengatakan, bahwa kesaksian dari para saksi penggugat tidak mengetahui fisik tanahnya.
“Pada prinsipnya kesaksian dari mereka itu secara detail tidak tahu fisik tanahnya, karena mereka-mereka yang mengklaim tanah itu, sejak tahun 1965 sudah tidak berada lagi di tanah tersebut, karena mereka sudah di usir dan terlibat PKI”, ujar Misrad. Rabu 27/7/2022.
Kemudian, lanjut Misrad, diatas lahan itu sudah ditempati para penggarap, dan para penggarap-penggarap itulah yang sekarang mendapatkan uang kerohiman, karena diatas tanah tersebut sudah ada sertifikat atas nama Kementrian Agama.
“Sejak pembangunan kampus UIII yakni tahun 2019,sampai dengan hari ini uang kerohiman telah kami berikan kepada para penggarap, sekitar 200 lebih penggarap”, bebernya.
Misrad juga mengungkapkan, timbulnya sertifikat 1981 milik Kementerian Agama berasal dari tanah negara, bekas Eigendom Verponding.
“Sertifikat 1981 di buat ada panitianya, dan panitia pembuatannya itu ada lurah Curug dan Camat Cimanggis. Sedangkan mereka jelas-jelas sejak dari tahun 1965 sudah tidak menguasai fisik lahan, jadi artinya orang-orang itu sudah tidak ada waktu sertifikat itu di buat”, ungkap Misrad.
Menurut Misrad, saat sidang lapangan pun para penggugat tidak ada yang dapat menunjukan dengan jelas objek-objek lahan tersebut.
“Intinya sejak tahun 1965 mereka sudah tidak menguasai lahan itu, bagaimana mngkin sekarang mereka mau mengklaim lahan itu adalah milik mereka, apalagi menurut informasi surat-surat sudah di bakar dan tidak ada, dan sekarang muncul girik, itu dari mana dapatnya?”, tuturnya.
Menyikapi hal tersebut, Kuasa dari warga Kampung Bojong-Bojong Malaka, Koalisi Rakyat Anti Mafia Tanah (Kramat) melalui Sekjennya, Yoyo Effendi menjelaskan, semua yang di kemukakan oleh Kuasa Hukum UIII tersebut tidak dapat menjadi dasar dan alasan Hukum, untuk menghapus jejak sejarah keberadaan tanah hak milik adat kampung Bojong-Bojong Malaka.
“Jejak sejarah Ibrahim bin Jungkir dan kawan-kawan selaku penggugat dalam perkara ini tidak bisa di hapus begitu saja”, tegas Yoyo, Rabu 27/07/2022.
Sebagaimana telah diterangkan saksi-saksi di depan Majelis Hakim, lanjut Yoyo, tidak dikuasainya fisik tanah oleh Ibrahim bin Jungkir bersama kawan-kawan sejak tahun 1965, karena mereka menghindar dari tindakan kekerasan yang di lakukan oleh RRI.
“Mereka terpaksa meninggalkan lokasi tanah tersebut demi menyelamatkan diri dari tindakan refresif dan kekerasan yang dilakukan oknum-oknum RRI, setelah warga kampung Bojong-Bojong Malaka dituduh sebagai anggota Ormas Barisan Tani Indonesia atau Ormas Sayap Partai Komunis Indonesia”, ungkap Sekjen KRAMAT.
Yoyo menjelaskan, ketentuan pasal 1 ayat 3 No. 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang pokok Agraria menyebutkan, bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa termaksud dalam ayat 2, adalah hubungan yang bersifat abadi.
Artinya, hak warga Indonesia atas hak tanah bersifat abadi tidak bisa putus, atau hapus haknya kecuali melakukan tindakan hukum yang menyebabkan haknya atas tanah terputus atau terhapus.
“Hak warga kampung Bojong-Bojong Malaka atas tanah hak milik adat tersebut tetap melekat sampai kapanpun, sepanjang mereka tidak pernah melakukan pelepasan hak atas tanah tersebut, dan tampilnya mereka saat ini lalu menggugat para tergugat, adalah hak setiap warga negara yang di lindungi oleh konstitusi negara”, papar nya.
Yoyo juga mempertanyakan pengakuan kuasa hukum UIII, yang menyatakan sertifikat atas nama RRI, yang terbit tahun 1981.
“Yang kami pertanyakan atas penerbitan sertifikat tahun 1981 atas nama RRI tersebut, apakah membuat sertifikat di atas tanah milik orang lain yang jelas pemiliknya, jelas suratnya, jelas riwayat tanahnya tanpa di dasari oleh adanya transaksi jual beli dengan pemiliknya, apakah sesuai dengan hukum?”, tandas Yoyo.
Menjawab soal bukti kepemilikan warga kampung Bojong-Bojong Malaka berupa girik dan surat-surat lainnya yang telah musnah di bakar, Yoyo Effendi didampingi oleh Ketua Kramat Syamsul B Marasabessy mengatakan, bahwa kelajutan persidangan akan dilaksanakan pada bulan Agustus mendatang.
“Mengenai hal itu kebenarannya yang sesungguhnya akan di ungkap pada persidangan selanjutnya, Selasa 2 Agustus 2022 di Pengadilan Negeri Depok”, tegasnya.
*Keterangan Saksi Sya’piih*
Meskipun molor 5 jam dari jadwal sidang yang telah di jadwalkan yakni pukul 13.00 WIB, namun persidangan sengketa tanah dengan Perkara Perdata No.259/PDT.G/2021/PN.Dpk tetap di di gelar oleh Pengadilan Negeri Kelas I A Depok, Selasa (26/07/2022). dengan agenda sidang mendengarkan keterangan dari saksi-saksi.
Sya’piih (76 tahun) saksi dari penggugat yang telah di sumpah didepan majelis hakim memberikan kesaksian bahwa, lahan yang saat ini di klaim milik RRI adalah tanah hak milik adat Kampung Bojong-Bojong Malaka.
“Dari lahir saya sudah berada di tanah ini. Ini tanah hak milik adat dan tidak pernah tanah ini di penjual belikan oleh siapa pun”, ujarnya.
Sedangkan, tanah RRI letaknya di sebelah tanah adat kami. Yakni berada di sebelah selatan, dirinya juga mengakui mempunyai surat-surat keabsahan tanah tersebut yakni berupa girik.
Dipersidangan, Sya’piih juga mengungkapkan, bahwa dirinya beserta keluarga terpaksa meninggalkan tanah Kampung Bojong-Bojong Malaka karena adanya pengusiran.
“Saya bersama orang tua tinggal di tanah itu pada Jaman peristiwa G30S PKI. Malam siang di tangkap langsng ditaro di rawa kalong, kaga makan sampai ada yang meninggal karena kelaparan”, tuturnya dengan bahasa dialek Betawi.
Karena rasa ketakutan, lanjutnya, dan orang tua juga dituduh sebagai PKI, kami di usir dari tanah Bojong-Bojong Malaka.
“Bukan hanya saya sekeluarga, tapi ratusan warga Bojong-bojong Malaka pergi dari lahan karena rasa takut, dan akhirnya warga pendatang yang datang dan menempati lahan kami sampai nama Kampung Bojong-Bojong Malaka hilang”, bebernya.
Persidangan yang berlangsung hingga malam hari tersebut dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim, Divo Ardianto dan hakim anggota, Nugraha M Prakasa dan Fauzi.(Emy)